Nasi tumpang sudah jamak diketahui berasal dari Kediri.

Tapi jika dipadukan dengan koyor atau bagian dari urat sapi, telunjuk pasti mengarah ke Salatiga.

Di kota sejuk ini, ada destinasi wisata kuliner tumpang koyor yang sudah melegenda.

Ada Tumpang Koyor Mbah Rakinem yang dirintis sejak 1950.

Warung makan Tumpang Koyor Mbah Rakinem, yang beralamat di Jalan Nakula Sadewa III No.13, Kembangarum, Dukuh, Sidomukti, Kota Salatiga ini memang berkonsep rumahan.

Bentuknya tak seperti lazimnya sebuah warung makan.

Tempat jualannya menyatu dengan dapur yang masih bergaya tempo dulu.

Memasaknya masih memakai pawon atau tungku tradisional dengan kayu bakar.

Satu-satunya yang menunjukkan bahwa rumah itu juga sekaligus merupakan warung makan adalah adanya meja dan kursi panjang di depan rumah dan papan nama bertuliskan Tumpang Koyor Mbah Rakinem.

Di antara papan nama itu adalah pemberian dari Pemkot Salatiga, karena Tumpang Koyor Mbah Rakinem memang termasuk salah satu dari 10 Kuliner Bersejarah (Culinary Heritage) yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota kot Salatiga.

Tumpang koyor merupakan masakan yang terdiri dari sambal tumpang dengan tambahan koyor atau otot sapi.

Sambal tumpang sendiri terbuat dari tempe semangit atau orang Jawa lazim menyebutnya dengan sebutan tempe bosok (busuk).

Meski namanya tempe busuk, namun sebenarnya tempe itu tidak benar-benar busuk.

Tempe busuk hanya istilah untuk menyebut tempe yang diolah dengan proses fermentasi yang relatif lebih lama (over-fermented).

Tempe busuk seperti itu, menurut sejumlah penelitian—seperti yang dilansir alodokter.com, justru kandungan antioksidannya lebih tinggi dibandingkan dengan tempe yang masih segar.

Antioksidan ini sangat berguna, antara lain untuk meningkatkan daya tahan tubuh, melancarkan metabolisme, menambah stamina, memperbaiki nafsu makan, mencegah pembentukan sel kanker, dan banyak lagi manfaat lain bagi kesehatan.

Bagi yang tidak menyukai koyor, ada pilihan tulang muda dan cingur alias bagian moncong sapi.

Rasanya empuk dan kenyal.

Saat menyantapnya ditemani kerupuk karak atau kerupuk gendar, terbuat dari nasi membuat cita rasa nasi tumpang koyor ini makin nikmat.

Warung Makan Tumpang Koyor Mbah Rakinem buka empat jam saja.

Mulai jam 06.00 hingga 10.00 WIB.

Sehingga pagi-pagi warung ini sudah ramai dikunjungi pelanggannya, baik yang berasal dari Kota Salatiga maupun yang datang dari luar kota.

Mbak Jumiyati, generasi kedua Mbah Rakinem menjelaskan, setelah jam 10, ia harus buru-buru ke pasar untuk kulakan bahan membuat Tumpang Koyor yang dijual keesokan harinya.

Sorenya, tumpang koyor harus sudah diolah dan dibuat, lalu diinapkan semalam.

Paginya, tumpang koyor dihangatkan kembali.

Dengan cara seperti itu, menurut Mbak Jumiyati, tumpang koyor menjadi lebih lezat dan sedap.

Apalagi memasaknya masih menggunakan cara tradisional menggunakan pawon dengan kayu bakar.

Cara seperti itu, diyakini menjadikan cita rasa masakan lebih sedap aromatik.

Dia juga mengaku, tumpang koyornya masih mempertahankan resep otentik warisan Mbah Rakinem, ibunya.

Mbah Rakinem mulai berjualan tumpang koyor dengan cara berjualan keliling.

Baru pada 2009, Mbah Rakinem memutuskan berjualan di rumah saja, menyudahi berjualan keliling mengingat usianya yang sudah lanjut dan tenaganya sudah mulai melemah.

Sekira dua belas tahun kemudian, tepatnya hari Selasa, 6 Juli 2021, Mbah Rakinem wafat dan usaha warung tumpang koyor diteruskan oleh anaknya, Jumiyati, hingga kini.

Menurut Mbak Jumiyati, lima tahun sebelum ibunya meninggal, ia telah membantu memasak tumpang koyor secara intensif, sehingga ia tahu betul cara membuat Tumpang Koyor sesuai resep ibunya.

Sehingga dia menjamin, resep dan cita rasa tumpang koyornya masih otentik sebagaimana tumpang koyor buatan Mbah Rakinem—ibunya.

BADIATUL MUCHLISIN ASTI Tulisan sudah tayang di TelusuRI

Tumpang Koyor, Kuliner Khas Salatiga Tetap Pertahankan Cita Rasa Otentik Sejak 1950
Tag pada:                

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *